Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Pendiri The Activist Cyber
Keputusan Muhammadiyah untuk menerima tawaran pemerintah dalam mengelola tambang batubara menambah panjang daftar organisasi kemasyarakatan (ormas) yang terjun ke sektor ekstraktif. Sebelumnya, Nahdlatul Ulama (NU) dan Persatuan Islam (Persis) telah lebih dulu mengambil langkah serupa. Namun, seperti halnya NU, keputusan Muhammadiyah ini memicu reaksi pro dan kontra di masyarakat, terutama di media sosial. Kritik dan pujian datang silih berganti, mempersoalkan konsistensi, independensi, hingga motif dibalik keputusan tersebut.
Dilema Pengelolaan Sumber Daya oleh Ormas
Dalam konteks ini, penting untuk menggeser fokus dari sekadar perdebatan sempit soal ketundukan pada rezim atau konsistensi ke hal yang lebih substansial: bagaimana keputusan ini dapat membantu Indonesia keluar dari status negara berkembang yang sudah lama disandangnya. Sejak era 1980-an, status Indonesia sebagai negara berkembang telah menjadi bagian dari kurikulum pendidikan, seakan-akan negara ini terjebak dalam lingkaran setan “berkembang untuk tetap berkembang.”
Meskipun berbagai kemajuan telah dicapai, baik di sektor ekonomi maupun teknologi, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara maju. Kemajuan yang dialami selalu terasa setengah langkah di belakang, membuat pertanyaan “kapan Indonesia menjadi negara maju?” menjadi semakin relevan. Indonesia mungkin telah dimasukkan ke dalam kelompok negara G-20, tetapi status sebagai negara maju belum juga diraih. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama dalam upaya mengatasi jebakan pendapatan menengah (middle income trap) yang hingga kini membelenggu.
Energi sebagai Pilar Masa Depan
Memenuhi ambisi menjadi negara maju membutuhkan lebih dari sekadar perbaikan kebijakan ekonomi yang ada. Dibutuhkan perubahan paradigma yang mendasar, di mana pembangunan ekonomi tidak lagi hanya dibebankan pada segelintir elit, tetapi melibatkan seluruh komponen masyarakat. Indonesia perlu mengembangkan strategi pembangunan yang memanfaatkan kekayaan sumber daya energi dalam negeri secara maksimal. Energi adalah kunci untuk mencapai kemandirian ekonomi dan kesejahteraan yang merata.
Saat ini, sektor pertambangan masih didominasi oleh asing dan segelintir pengusaha lokal, yang menguasai jutaan hektar lahan melalui izin usaha pertambangan. Sementara itu, pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar Rp75 juta atau USD4.919,7, naik 2,8% dari tahun sebelumnya. Namun, angka ini tidak mencerminkan pemerataan pendapatan di seluruh lapisan masyarakat. Di sinilah letak pentingnya peran ormas keagamaan dalam pengelolaan tambang. Dengan keterlibatan ormas, diharapkan hasil tambang dapat memberikan manfaat lebih luas, terutama bagi masyarakat sekitar lokasi tambang.
Melawan Hegemoni Wacana Lingkungan
Namun, langkah ini tidak lepas dari kritik, terutama yang berkaitan dengan isu lingkungan. Dalam beberapa dekade terakhir, dunia dikejutkan oleh meningkatnya suhu permukaan bumi yang dipicu oleh emisi karbon berlebih, dengan industri pertambangan minyak bumi dan batubara sering kali menjadi kambing hitam. Munculnya konsep ekonomi hijau (green economy) yang menekankan pentingnya kelestarian lingkungan hidup, menambah tekanan pada aktivitas pertambangan.
Namun, bagi negara seperti Indonesia yang masih bergulat untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah, tambang batubara masih sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Larangan untuk memanfaatkan sumber daya energi ini dengan dalih kerusakan lingkungan terasa tidak adil, terutama ketika negara-negara maju yang sudah menikmati masa kejayaan energi fosilnya justru masih menjadi produsen emisi karbon terbesar di dunia.
Tantangan bagi Ormas Keagamaan
Di tengah wacana lingkungan yang semakin menguat, ormas keagamaan yang terlibat dalam pengelolaan tambang dituntut untuk menunjukkan kemampuan dalam mengelola industri ekstraktif dengan cara yang lebih bertanggung jawab. Kekhawatiran publik mengenai kemampuan ormas dalam sektor ini wajar muncul, mengingat ini adalah wilayah baru bagi mereka. Namun, kesempatan ini juga dapat dilihat sebagai peluang untuk membuktikan bahwa pengelolaan tambang dapat dilakukan dengan lebih baik, mengedepankan prinsip keadilan sosial, dan menjaga kelestarian lingkungan.
Ormas seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan penguasaan teknologi, mengurangi kerusakan lingkungan, dan memastikan hasil tambang dapat dinikmati oleh masyarakat secara lebih merata. Jika berhasil, langkah ini bukan hanya akan membawa Indonesia lebih dekat pada cita-cita kemandirian energi, tetapi juga membantu memitigasi kritik yang selama ini menghantui sektor pertambangan.
Penutup
Keputusan Muhammadiyah untuk terjun ke dunia pertambangan adalah langkah besar yang penuh risiko, namun juga sarat dengan peluang. Dalam konteks pembangunan nasional, langkah ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mengambil alih kendali atas kekayaan sumber daya energi dan memanfaatkannya demi kepentingan bangsa. Jika dikelola dengan baik, keterlibatan ormas dalam sektor pertambangan dapat menjadi katalisator untuk membawa Indonesia keluar dari jebakan pendapatan menengah dan menuju status sebagai negara maju. Namun, keberhasilan ini sangat tergantung pada kemampuan ormas untuk menjaga integritas, memitigasi dampak lingkungan, dan memastikan keadilan sosial dalam pengelolaan tambang.