Oleh: Wawan Leak, Pemerhati dan Pegiat Demokratisasi
Akhir-akhir ini, perhatian masyarakat Indonesia tertuju pada berbagai kontroversi yang melibatkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pada 2022, kasus Ferdy Sambo yang terlibat dalam pembunuhan berencana mengguncang publik. Lalu pada Mei 2023, kasus salah tangkap Vina di Cirebon menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap Polri. Belum lagi kasus kematian Alif Maulana pada Maret 2024 yang belum terungkap, semakin menegaskan bahwa Polri masih jauh dari harapan masyarakat.
Polri seharusnya berperan dalam penegakan hukum, memberikan rasa aman, menjaga ketertiban, serta mengayomi dan melayani masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun, realita menunjukkan bahwa tugas-tugas ini belum sepenuhnya tercapai. Dalam Pasal 13 UU No. 2/2002 disebutkan tugas pokok Polri meliputi:
- Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
- Menegakkan hukum.
- Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dari segi penegakan hukum, masyarakat kerap melihat Polri lebih berpihak pada kaum berpunya dan kelas menengah ke atas. Stigma “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah” masih sangat akrab di telinga kita. Fenomena ini mencerminkan bahwa Polri sering kali digunakan sebagai alat untuk menekan masyarakat dengan dalih “menertibkan”.
RUU Polisi: Ancaman terhadap Ruang Demokrasi
Saat ini, perhatian kita juga harus tertuju pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepolisian yang tengah digodok di DPR. RUU ini menyimpan berbagai substansi yang berpotensi mengancam kebebasan masyarakat sipil. Dalam draf revisi UU Nomor 2 Tahun 2002, Polri diberikan kewenangan yang sangat luas, termasuk melakukan penyadapan dengan dalih keamanan dalam negeri.
Jika RUU ini disahkan, Polri akan memiliki kewenangan absolut untuk mendeteksi dan menanggulangi ancaman dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, dan keamanan. Bahkan isu-isu yang seharusnya menjadi ranah TNI, seperti separatisme, sabotase, dan spionase, juga dimasukkan dalam tugas Polri. Ini jelas mencederai semangat reformasi yang melepaskan Polri dari dwifungsi TNI .
Polri di Era Pemerintahan Jokowi
Di era pemerintahan Jokowi, berbagai pakar dan ahli berpendapat bahwa Polri cenderung dijadikan alat kekuasaan. Misalnya, pada kasus penangkapan sejumlah aktivis dan tokoh oposisi yang dianggap kritis terhadap pemerintah. Penangkapan tersebut seringkali dikritik sebagai upaya membungkam kebebasan berpendapat.
Salah satu contoh konkrit adalah kasus penangkapan aktivis Ravio Patra pada April 2020, yang dituduh menyebarkan hoaks. Penangkapan ini terjadi setelah Ravio mengkritik kebijakan pemerintah melalui media sosial. Menurut pakar komunikasi politik Universitas Indonesia, Dr. Effendi Gazali, penangkapan Ravio adalah bentuk intimidasi terhadap kebebasan berekspresi di era demokrasi .
Selain itu, penangkapan mantan Ketua Umum PPP, Romahurmuziy, pada Maret 2019 atas tuduhan korupsi juga mencuatkan dugaan bahwa Polri digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai bahwa penangkapan ini, meskipun sah secara hukum, sering kali digunakan sebagai alat untuk menghancurkan lawan politik .
Masyarakat sipil dan para penggiat demokrasibharus kritis dan aktif dalam mengawasi proses legislasi ini. Kita tidak boleh membiarkan RUU Kepolisian melenggang tanpa evaluasi dan kritik yang konstruktif. Tugas pokok Polri seharusnya kembali pada perannya sebagai pengayom masyarakat, menjaga ketertiban, dan penegakan hukum yang profesional tanpa terjebak dalam pragmatisme kekuasaan.
Penutup
Saatnya kita mengembalikan fokus Polri pada tugas utama mereka. Isu-isu keamanan dan kedaulatan negara sebaiknya tetap menjadi tanggung jawab TNI. RUU Kepolisian harus diawasi dengan ketat agar tidak mengekang ruang demokrasi dan kebebasan masyarakat. Hanya dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa Polri benar-benar berfungsi untuk melayani dan melindungi seluruh lapisan masyarakat.
Sumber:
- https://nasional.kompas.com/read/2022/08/08/15430031/ferdy-sambo-ditetapkan-sebagai-tersangka-pembunuhan-berencana
- https://regional.kompas.com/read/2023/05/10/19043841/kasus-salah-tangkap-vina-di-cirebon-polisi-akui-kesalahan
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13
- https://nasional.tempo.co/read/1449768/ruu-kepolisian-berpotensi-langgar-ham
- https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b4f31515e0d1/elemen-masyarakat-sipil-tolak-ruu-kepolisian
- https://www.thejakartapost.com/news/2020/04/24/criticism-grows-as-activist-ravio-patra-detained-for-hoax-spreading.html
- https://www.reuters.com/article/us-indonesia-politics/indonesian-police-arrest-politician-in-graft-investigation-idUSKCN1QN0E9
Editor: Agusto Sulistio