Raja Ampat Disayat, Kini Para Menteri Tarik Menarik “Tanpa Izin Bisa Menambang”

Jun 8, 2025

Pulau-pulau kecil di Raja Ampat, Papua Barat Daya, tak hanya memikul keindahan, tapi juga luka. Luka yang disebabkan oleh kerakusan manusia dan pengabaian negara. Di tengah panorama laut biru dan gugusan karang tropis, kini menganga bekas-bekas tambang nikel yang tak bisa disembunyikan dari langit tertangkap jelas oleh drone dan satelit.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, pada 8 Juni 2025 mengumumkan langkah tegas: penyegelan terhadap aktivitas tambang yang dinilai melanggar hukum dan merusak ekologi. Langkah ini bukan basa-basi, karena ditemukan sejumlah pelanggaran serius dari perusahaan pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) di kawasan tersebut.

Yang paling disorot adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP) di Pulau Manuran. Pulau kecil itu hanya seluas 1.173 hektare. Namun, 109 hektare di antaranya telah dibongkar dan dikeruk. Hanif menyatakan rehabilitasi pulau ini akan sangat sulit dilakukan. Kolam limbahnya bahkan pernah jebol, mencemari pantai dan laut sekitar.

Lebih parah, dokumen AMDAL perusahaan tersebut tak ditemukan di kementerian. Bagaimana mungkin tambang beroperasi selama hampir dua dekade tanpa pengawasan pusat? Fakta ini menampar wajah birokrasi, sekaligus membongkar potensi pembiaran sistemik dari pemerintah daerah.

PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) juga tak kalah nekat. PT KSM membuka lahan tambang di luar izin kawasan hutan yang diberikan, sementara PT MRP mengeksplorasi 10 titik tambang tanpa dokumen lingkungan maupun persetujuan kawasan.

Dalam negara hukum, ini sudah cukup untuk menyeret mereka ke meja hijau. Tapi apakah hukum masih berfungsi ketika investasi dan kekuasaan duduk semeja?

Berbeda dengan lainnya, PT GAG Nikel anak perusahaan PT Aneka Tambang (Antam) tidak dijatuhi penyegelan meski beroperasi di Pulau Gag dengan bukaan tambang 187 hektare. Hanif menyebut kegiatan tambang ini “masih memenuhi kaidah lingkungan.” Tapi publik melihat ada yang janggal.

Sebab tak lama sebelum penyegelan diumumkan, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia terbang langsung ke Raja Ampat dan mengambil alih penanganan tambang PT GAG. Pertanyaannya, mengapa kementerian yang seharusnya satu suara dalam menyelamatkan lingkungan, kini terkesan tarik tambang kuasa?

Putusan Hukum yang Dilangkahi

Yang membuat ironi ini semakin pekat adalah dua putusan penting:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 57P/HUM/2022*, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023. Keduanya secara tegas melarang segala bentuk penambangan di pulau kecil, tanpa pengecualian.

Hanif mengakui bahwa putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap. Namun eksekusinya masih akan didiskusikan lintas kementerian. Di sinilah keraguan publik tumbuh: mengapa ketika hukum sudah jelas, negara justru ragu?

CITRA SATELIT SENTINEL

Perbandingan citra satelit Sentinel 2 yang menunjukkan kondisi Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, pada 19 November 2018 dan 29 Maret 2025.

Jika negara membiarkan kekuasaan dan investasi melanggar hukum, maka jangan salahkan rakyat jika kepercayaan terhadap keadilan akan mati. Jangan juga salahkan generasi mendatang jika laut, pantai, dan pulau-pulau kecil ini hanya tinggal dalam foto pariwisata yang sudah basi.

Kini bola panas ada di tangan tiga kementerian: Lingkungan Hidup, ESDM, dan Kehutanan. Rakyat menunggu, apakah hukum benar-benar berlaku untuk semua? Atau hanya untuk mereka yang tak punya akses ke Istana?

Raja Ampat bukan milik korporasi. Ia milik semesta, anak cucu kita, dan peradaban yang bertanggung jawab. Jika negara tak mampu melindunginya, maka yang tersisa hanya kutukan panjang dari generasi yang ditinggalkan hancur.

Penulis: Agusto Sulistio