Ketegangan meledak di tengah rutinitas kerja di Kantor Dinas Sosial Kabupaten Gorontalo, Rabu (4/6/2025). Seorang mantan dosen berinisial RK secara mengejutkan menodongkan senjata ke arah seorang aparatur sipil negara (ASN) di ruang kerja dinas tersebut.
Aksi dramatis itu membuat gempar para pegawai dan menjadi sorotan publik. Namun, alih-alih senjata api sungguhan, polisi mengungkap bahwa benda yang digunakan RK hanyalah senjata mainan. Meski begitu, ancaman yang ditimbulkan tetap nyata.
“Pelaku sudah kami tetapkan sebagai tersangka. Ia adalah pensiunan dosen,” ungkap Kasat Reskrim Polres Gorontalo, Iptu Faisal Ariyoga, kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (7/6).
RK saat ini tengah menjalani proses hukum, sementara polisi telah mengamankan barang bukti dan terus mendalami motif di balik penodongan tersebut. Dari hasil pemeriksaan awal, motif pelaku diduga berakar pada kesalahpahaman pribadi antara dirinya dan korban.
“Pengakuannya, senjata itu bukan asli, hanya mainan. Tapi tetap saja, tindakan ini mengandung unsur intimidasi dan bisa menimbulkan kepanikan,” ujar Faisal.
Penodongan di lingkungan kantor pemerintahan, apalagi oleh warga sipil yang tidak bersenjata resmi, menimbulkan pertanyaan serius: di mana batas toleransi dalam menyelesaikan konflik personal?
Apapun bentuknya mainan atau sungguhan senjata tetap senjata ketika diarahkan ke seseorang dalam situasi penuh tekanan. Dalam kacamata hukum, ancaman menggunakan benda menyerupai senjata tetap masuk dalam kategori pidana.
“Tersangka terancam hukuman pidana penjara hingga 1 tahun,” tegas Faisal.
Insiden ini membuka tabir masalah keamanan di instansi pemerintahan. Kantor dinas seharusnya menjadi tempat pelayanan publik yang aman dan terbuka. Namun jika insiden semacam ini bisa terjadi tanpa pengamanan berarti, maka jelas ada celah yang harus dibenahi.
Selain itu, fakta bahwa pelaku adalah seorang pensiunan dosen yang notabene berpendidikan dan pernah mendidik generasi muda menggambarkan bahwa emosi dan kekecewaan personal bisa mendorong siapa saja pada tindakan ekstrem, bahkan jika ia berasal dari kalangan terdidik.
Peristiwa ini bukan sekadar soal pistol mainan dan salah paham, tetapi cermin dari rapuhnya manajemen konflik dan lemahnya sistem pengamanan di kantor publik. Apalagi dalam iklim sosial yang semakin tegang, kejadian kecil bisa menjadi pemicu reaksi besar.
Kasus ini masih dalam penyelidikan lebih lanjut. Namun satu pelajaran penting sudah jelas: di era ketidakpastian, bahkan ancaman fiktif bisa menimbulkan kepanikan nyata dan hukum tetap akan bicara.
(Agt/PM)