Pemerintah tengah mempertimbangkan revisi kontroversial: mengurangi standar minimum rumah subsidi menjadi 18 m² untuk bangunan dan 25 m² untuk lahan. Kebijakan ini langsung menuai pro dan kontra, bahkan menjadi bahan perbincangan hangat di media sosial. Banyak warganet membandingkannya dengan rumah subsidi di China yang hanya seluas 10–15 m².
Dalam dokumen Roadmap Sistem Pembiayaan Perumahan Indonesia 2018–2025 milik Kementerian PUPR, dijelaskan bahwa kriteria rumah subsidi di China ditentukan berdasarkan wilayah urban dan suburban. Misalnya, rumah 10 m² di kota-kota besar seperti Shanghai dan Beijing diperuntukkan bagi warga dengan penghasilan maksimal 22.700 yuan per tahun. Di pinggiran kota, rumah 15 m² ditujukan untuk warga berpenghasilan di bawah 21.000 yuan per tahun.
Ketika ditanya apakah Indonesia mengadopsi model China ini, Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR, Sri Haryati, tidak memberikan jawaban langsung. Namun, ia mengakui bahwa desain rumah yang lebih kecil memang sedang dipertimbangkan sebagai solusi atas krisis backlog perumahan yang mencapai 9,9 juta unit 80 persen di antaranya berada di wilayah perkotaan.
“Desain rumah yang lebih efisien adalah respons terhadap tingginya harga tanah di kota. Ini cara untuk memperluas akses masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terhadap hunian yang layak dan terjangkau,” jelas Sri mengutip CNBC Indonesia (10/6/2025).
Sri juga menyebut bahwa generasi muda saat ini lebih memilih rumah yang dekat dengan tempat kerja, biasanya di pusat kota. Sayangnya, harga tanah di sana terlalu mahal untuk pembangunan rumah subsidi dengan standar ukuran saat ini. Rumah berukuran kecil dengan desain menarik dianggap sebagai jalan tengah.
“Rumah subsidi yang lebih kecil tapi strategis lokasinya dapat menekan biaya transportasi, meningkatkan produktivitas, dan tetap memenuhi kebutuhan hunian yang layak bagi MBR,” tambah Sri.
(Bbg/PM)