Keterangan gambar: Mantan Kapolri Hoegeng, Mantan Presiden Soeharto dan Mantan Kapolri Moh Hasan.
Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed.
Latar belakang: Dalam sejarahnya Polisi tak pernah lepas dari bagian kekuasaan, sejak masa Orde lama, Orde baru, bahkan sebelumnya. Memasuki era sistem pemerintahan demokratis modern Civil Society berfikir dan berjuang untuk mewujudkan kehidupan sipil yang mandiri dan lepas dari bayang-bayang kekuasaan, yang puncaknya terjadi saat pergolakan politik tahun 1998. Perpisahan Polri dari ABRI menjadi satu bagian dari agenda reformasi yang tak bisa dipisahkan. Atas perjuangan dan pengorbanan rakyat dan Mahasiswa, yang telah dirintis sejak era tahun 1966, 1974, 1980-an dan 90-an, lahirlah Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 yang kemudian diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000 tentang posisi Polri tidak lagi berada dibawah ABRI/TNI.
Upaya bersih-bersih Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, ditengah situasi kondisi Polri saat ini.
PikiranMerdeka.com – Sebetulnya banyak peristiwa yang menyebabkan tercorengnya citra institusi Polri, mulai dari terkecil yakni perilaku oknum personil Polri yang terkait dengan tindakan pidana. Kejadian ini sudah menjadi rahasia umum, bahkan tak jarang media meliput tindakan indisipliner akibat persoalan moralitas, dll.
Sebetulnya kejadian Irjen FS pun bisa dikategorikan peristiwa sebagaimana sebelumnya terjadi di internal Polri. Dan kemudian penangangan perkaranya pun bisa tuntas dengan cepat dan kasus tak melebar dan menjadi perhatian besar berbagai pihak.
Persoalan FS menjadi besar, ibarat bola salju yang menggelinding. Mengundang perhatian publik, bahkan perhatian media luar negeri.
Sebelumnya Presiden pun beberapa menyampaikan bahwa kasus FS harus dibuka segera dan terang benderang.
Jika melihat kasus-kasus sebelumnya yang pernah terjadi di internal Polri dan selesai sebagaimana mestinya, seharusnya kasus FS pun demikian.
Selamatkan NKRI dari Mafia di Tubuh POLRI
Tito Karnavian sosok dibalik melejitnya karier Ferdy Sambo
Namun kenyataanya, persoalan menjadi besar, asumsi dan tuntutan publik pun menjadi liar, menghantam berbagai persoalan penegakkan hukum yang tak tertuntaskan selama ini.
Jika kita sadari bahwa pengungkapan kasus FS yang terkesan lambat serta adanya kejanggalan prosedur serta statemen resmi Polri yang berubah-ubah, adalah hal utama yang menyebabkan kasus FS menjadi besar dan menghantam kesegala lini internal Polri.
Entah hal itu disengaja atau tidak, menurut pandangan penulis ini merupakan hikmah positif. Bahwa Tuhan YME telah memberi ruang kepada institusi Polri untuk melakukan pembenahan total, agar kelak betul-betul dapat menjadi lembaga keamanan rakyat yang tunduk kepada hukum tanpa tebang pilih.
Selain itu mari kita jadikan ini sebagai ruang menuju pintu masuk untuk memperbaiki berbagai persoalan dalam tubuh Polri, disamping penyelesaian kasus FS itu sendiri.
Berkaitan dengan itu, institusi Polri yang kini dipimpin oleh Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo berupaya maksimal untuk lakukan bersih-bersih untuk mengembalikan citra / marwah Polri kepada citra Polri yang melindungi dan mengamankan masyarakat, bengan menjunjung hukum secara berkeadilan.
Berkaitan dengan bersih-bersih secara besar-besaran dalam tubuh Polri yang dilakukan oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo saat ini bukanlah hal pertama dilakukan.
Cara MAFIA, mantan Ka.BAIS: jika prosedur penyelidikan awal salah, kita berharap apa?
Gatot Nurmantyo, “Pemerintah Mengkooptasi Negara”
Agak berbeda dengan kasus yang kini sedang diungkap oleh Kapolri Listyo Sigit dan jajarannya, ada peristiwa sebelumnya terkait bersih-bersih ditubuh Polri dimasa peralihan orde lama dibawah kekuasaan pemerintahan Soekarno ke orde baru Soeharto.
Disaat itu pasca meletusnya G30S tahun 1965, saat itu Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) atau disebut Menteri Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak), yang dijabat oleh Letnan Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, menjadi institusi yang dibersihkan oleh Soeharto, disamping struktur negara lainnya.
Saat masa peralihan Soekarno ke Soeharto “Polisi di bawah Soetjipto Joedodihardjo pro kepada Bung Karno, dan pada dasarnya tidak suka menjadi yang kedua dalam kekuasaan setelah tentara,” mengutip Jusuf Wanandi dalam Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia, 1965 – 1998.
Setingkat pasukan tempur, saat itu kepolisian memiliki Brigade Mobil (Brimob) yang sampai hari ini masih tetap ada dan eksis. Kemudian juga memiliki Resimen Pelopor yang saat itu dipimpin Anton Sudjarwo, yang mana kala itu para perintisnya pernah mendapat latihan Ranger dari Amerika Serikat. Pada paruh terakhir 1960-an, Brimob dianggap sebagai pendukung Sukarno. Dalam sejarahnya Resimen Pelopor pernah menyerbu markas Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di Cijantung.
Oleh sebab posisinya serta kemampuan, kemudian Brimob dan Resimen Pelopor kerao terlibat dalam operasi penumpasan pemberontak bersama Angkatan Darat. Walau jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan AD, tapi mereka tak gentar kepada tentara. Maka itu, mereka berpotensi menjadi lawan ketika Sukarno tidak bisa bekerjasama menuruti kemauan kubu Soeharto.
Oleh karena itu maka cara melawan para Sukarnois di kepolisian akan lebih mudah jika Brimob dan Resimen Pelopor dikerdilkan. Kemudian setelah tahun 1968, Soekarno tak.lagi menjabat presiden, kemudia Soetjipto Joedodihardjo (Kapolri) diganti, Brimob masih ada tetapi jumlahnya dikurangi, sedangkan Resimen Pelopor dibubarkan.
Saat Soetjipto Joedodihardjo masih menjabat sebagai Kapolri, proses pembersihan kepolisian tak berjalan seperti harapan rezim Orde Baru.
Dari buku yang berjudul Hukum Militer dan Politik di Indonesia (1986:265) yang ditulis oleh Harold Crouch, lewat pembersihan yang lunak yang dilakukan dari awal 1966 hingga pertengahan 1966, terdapat 713 anggota polisi yang dibuang. Dua di antaranya adalah perwira senior dan 35 orang perwira menengah.
Personil polri saat itu yang terkena pembersihan rata-rata adalah polisi dengan pangkat rendah di kota-kota kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang diduga kerap mendukung PKI.
Lewat operasi bersih-beraih dan penumpasan G30S saat itu, Brigadir Jenderal Sawarno Tjokrodiningrat ditahan. Sementara panglima kepolisian di Jawa Tengah diganti dalam rangka memperkuat Orde Baru. Meski demikian, dari catatan Harold Crouch bahwa, “Angkatan Kepolisian tidak benar-benar menyerah kepada tekanan Angkatan Darat untuk mengadakan pembersihan terhadap para perwira yang terang-terangan Sukarnois sampai bulan-bulan terakhir di tahun1967.”
Semenjak tahun1966, saat Angkatan Kepolisian mulai ditekan Orde Baru, Jenderal Soetjipto mulai mempekerjakan Komisaris Jenderal Hoegeng Imam Santoso, mantan Menteri Iuran Negara yang kabinetnya dibubarkan setelah Supersemar keluar. Hoegeng yang menjadi musuh bagi para penyelundup di Medan, pernah menjadi Kepala Jawatan Imigrasi dari 19 Januari 1961 hingga Juni 1965. Oleh orde baru Hoegeng saat itu merupakan perwira yang dicap sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia.
Meski distigmakan sebagai anggota PSI dan partai tersebut telah dibubarkan, namun Hoegeng tetap merupakan orang kepercayaan Sukarno. Setelah Sukarno melemah dan kabinet 100 menteri bubar, Hoegeng pernah menjadi Sekretaris Kabinet dari Maret hingga Juni 1966.
Sekitar bulan Juni 1966, Hoegeng ditelepon oleh Menpangak (Kapolri) Soetjipto yang mengajaknya kembali ke kepolisian. Hoegeng menjawab bersedia dengan syarat jika Presiden Sukarno dan Ketua Presidium Kabinet Jenderal Soeharto merestui. Setelah kedua orang itu setuju, maka sejak 3 Agustus 1966 Hoegeng menjadi Deputi Menteri Muda Panglima Kepolisian Urusan Operasi.
Akan tetapi saat itu terhadap Soetjipto makin tinggi hingga ia kesulitan dalam menjalankan pekerjaannnya dan kemudian memutuskan mengundurkan diri pada 1968. Soetjipto sebelum meletakkan jabatannya mengusulkan Hoegeng sebagai penggantinya.
Disisi lain Soeharto sudah menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia. Hoegeng kemudian akhirnya dipercaya Orde Baru menjadi Kapolri. Namun Hoegeng merasa sedikit aneh, karena selama bertahun-tahun, ia tidak bertugas di kepolisian dan ini jadi salah satu kelemahannya. Hoegeng pun rentan karena dianggap bukan sebagai Angkatan 45 yang tak ikut gerilya setelah 19 Desember 1948. Akan tetapi Hoegeng sejak awal mendukung Republik Indonesia dan pernah bergabung dengan Polisi Tentara Laut.
Walau Hoegeng bukan jenderal yang mengakar di angkatannya, tapi dirinya merasa netral, tidak ikut serta dalam perpolitikan antara mereka yang pro dan kontra terhadap Soetjipto.
“Saya bukanlah orang politikus. Paling tidak dalam pengertian politik praktis,” kata Hoegeng dalam autobiografinya Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993:278).
Soeharto berkeyakinan, Hoegeng bukan orang yang berbahaya. Tetapi Hoegeng adalah sosok yang kerap membongkar kasus penyelundupan. Di masa Orde Baru, kepolisian berhasil membongkar kasus penyelundupan Robby Tjahyadi.
Kenyataanya bahwa Hoegeng menjadi Kapolri dari Mei 1968 hingga Oktober 1971. Penggantinya adalah Mohamad Hasan. Setelah jabatan itu, Hoegeng menolak tawaran menjadi duta besar dan memilih sebagai musikus, dan kemudian menjadi oposisi dalam Petisi 50.